Minggu, 08 Januari 2012

Ustadz M. Nawawi Thoyyib: Sabar Adalah Kunci Segala Sesuatu

Sosok ini tidak pernah menonjolkan diri. Karena itulah, tidak banyak orang yang tahu kalau pria yang satu ini merupakan orang dekat KH. Abdul Hamid Pasuruan yang kharismatik itu. Ya, dialah Ustadz M. Nawawi Thoyyib. Pria kelahiran Pasuruan, 3 November 1962 ini adalah sosok yang tidak mau menonjolkan dirinya. Beliau adalah putra dari H. Thoyyib yang merupakan orang dekat KH. Abdul Hamid Pasuruan. H. Thoyyib ini –menurut yang empunya cerita- adalah seorang hafizh (penghafal Al-Quran) dan pernah belajar di Makkah selama sembilan tahun. Setelah kembali ke tanah airnya, H. Thoyyib menikah dengan seorang gadis yang alim dan masih ada hubungan keluarga dengan Ponpes Sidogiri Pasuruan. Dari hasil perkawinan itulah, H. Thoyyib memiliki dua orang putra: Abdul Fattah Thoyyib, dan Muhammad Nawawi Thoyyib. Sedekat apa hubungan antara H. Thoyyib dengan Kiai Hamid Pasuruan? H. Thoyyib ini adalah santri Kiai Hamid Pasuruan, KH. Muhammad bin Yasin, dan juga pernah berguru pada Al-Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf Pasuruan. Karena kepandaian Bahasa Arabnya, maka H. Thoyyib dipercaya untuk menjadi juru bahasa dan juru bicara KH. Abdul Hamid Pasuruan. Ketika Kiai Hamid kedatangan tamu dari Timur Tengah, maka H. Thoyyib ini yang dipanggil untuk menemani Kiai Hamid menerima dan menjamu tamu-tamunya.

Soal nama Muhammad Nawawi Thoyyib, jika kita cermati, ada kesamaan nama antara sosok satu ini dengan seorang kiai kharismatik pemimpin Ponpes Sidogiri Pasuruan: KH. Mas Muhammad Nawawi Thoyyib. Memang jika ditilik secara silsilah, figur yang menjadi bahasan kita kali ini masih memiliki hubungan darah dengan Ponpes Sidogiri yang terkenal karena pondok tersebut melahirkan ulama-ulama yang alim dan tawadhu. Ternyata, nama Muhammad Nawawi Thoyyib ini adalah nama pemberian seorang alim kharismatik dan merupakan ahli hadits di Jawa Timur: Al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih (Darul Hadits Malang). Ceritanya, ketika istri H. Thoyyib melahirkan putra keduanya, bayi ini dibawa ke hadapan Habib Abdullah untuk diberi nama. Maka Habib Abdullah pun berkata, “Kasih nama Muhammad Nawawi!”. Kemudian diberi tambahan Thoyyib karena mengikuti nama ayahnya.
 
Ayah beliau, H. Thoyyib wafat pada tahun 1976. Setahun berikutnya, ibunda beliau menyusul ke haribaan Allah. Ustadz Nawawi pun menjadi yatim piatu. Beliau langsung dididik dan diasuh dalam lingkungan keluarga KH. Abdul Hamid Pasuruan. “Setiap sore menjelang Maghrib, saya datang ke rumah Kiai Hamid. Saya langsung dipeluk dan jidat saya dielus-elus Kiai Hamid. Saya juga disuruh makan dan tidur di rumah Kiai Hamid.” Begitu kata Ustadz Nawawi.

Tinggal di dalam rumah keluarga KH. Abdul Hamid membuat Ustadz Nawawi meneladani akhlaq dan sikap terpuji yang dicerminkan oleh penghuni rumah tersebut. “Dulu saya selalu shalat berjamaah dengan Kiai Hamid. Jadi saya tahu, shalat beliau sangat meneladani shalat para salafush-shalih. Tidak terlalu cepat, bacaannya tartil, tidak kakehan model.”

Sampai wafatnya KH. Abdul Hamid pada 25 Desember 1982, Ustadz Nawawi masih berdomisili di Pasuruan. “Kiai Hamid itu kalau mengajar ke mana-mana memakai sepeda pancal. Saya meniru beliau. Ketika saya masih di Pasuruan sampai saya pindah ke Sidoarjo, saya mengajar ke mana-mana menggunakan sepeda Pancal. Baru pada tahun 2002 saya punya sepeda motor.”

Ketika ditanya apakah nasihat Kiai Hamid yang sangat berkesan bagi Ustadz Nawawi, beliau langsung menjawab, “As-Shobru Miftaahu Kulli Syai-in. Sabar adalah kunci segala sesuatu. Jika sesuatu hal kita lakukan dengan sabar, telaten, istiqomah, dan tawadhu, maka Insya Allah kita akan mendapat rizki yang tiada terduga. Kemudian, prinsip yang saya pegang adalah ucapan KH. Achmad Shiddiq Jember: Nek dadi wong iku ojo kakehan model, nanti jadinya modol-modol. Jadi orang itu yang wajar saja. Jangan kebanyakan model. Nanti pasti akan modol-modol (rusak dengan sendirinya).”

Pada tahun 1985, Ustadz Nawawi hijrah dari Pasuruan ke Sidoarjo dan menempati rumah di Desa Larangan. Kemudian pindah ke Dusun Minggir. Sambil mengais rezeki dengan bekerja di pabrik sarung dan berjualan air jerigen, Ustadz Nawawi juga mengajar ngaji. Dalam bergaul, Ustadz Nawawi tidak pilih-pilih. Beliau bergaul dengan siapa saja. Tak heran jika beliau kenal dengan pejabat-pejabat, tentara-tentara, para ustadz dan kiai, guru, mahasiswa, karyawan toko, karyawan pabrik, sampai tukang becak. “Saya ini orangnya nasional. Saya bergaul dengan siapa saja. Tidak peduli ras, suku, golongan. Saya ini meniru abah saya. Abah saya itu bergaul dengan pecinan. Saya juga banyak kenalan orang-orang Cina. Saya tidak pilih-pilih apakah orang itu NU, Muhammadiyah, Salafi, Persis, dll. Toh, di akhirat nanti kita tidak akan ditanya: Apakah kamu NU? Apakah kamu Muhammadiyah? Tidak!”

Saat ini, suami dari Ainul Inayah dan ayah dari Fathiyyatur-Rahmi (Ami) dan Rizki Abdul Hadi (Hadi) ini berkediaman di Jl. Ababil 23 C, Minggir, Larangan, Sidoarjo. Istri beliau, Ainul Inayah bekerja di Pabrik Sepatu ECCO Sidoarjo. Anak beliau yang pertama, Fathiyyatur-Rahmi (Ami) sudah tamat dari sebuah Pondok Pesantren di Jombang, sementara sang bungsu Rizki Abdul Hadi (Hadi) tengah menempuh pendidikan di SDN Bligo, Candi, Sidoarjo. Di sela-sela aktivitasnya, Ustadz Nawawi mengasuh TPQ yang didirikannya dan bertempat di lantai dua rumahnya. “TPQ ini saya beri nama TPQ Salafiyah At-Thoyyibah. Salafiyah adalah nama pondok pesantrennya Kiai Hamid, At-Thoyyibah adalah dari nama ayah saya: Thoyyib. Alhamdulillah, santrinya cukup banyak. TPQ ini akan saya telatenkan terus. Saya akan istiqomah mengasuh santri-santri Salafiyah At-Thoyyibah agar menjadi generasi penerus yang selamat aqidahnya dan baik akhlaqnya.” (glr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar